Minggu, 01 Juli 2012

Home » » Wayang rujukan animator dunia

Wayang rujukan animator dunia

Wayang rujukan animator dunia

Gotot Prakoso tercenung sejenak ketika seorang mahasiswa di sebuah kampus film di Amerika Serikat bertanya tentang wayang. Ketua Asosiasi Film Animasi Indonesia (ASIFA) itu baru paham dengan pertanyaan lanjutan dari mahasiswa tadi. Kepada dia, mahasiswa itu mengaku penasaran karena seni wayang sering menjadi bahasan terdepan dalam mata kuliah sejarah film animasi dunia, terutama sejak United Nations on Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) merestui wayang sebagai kesenian asli Indonesia.

Gotot, dosen sekaligus ketua jurusan animasi dalam Fakultas Perfilman di Institute Kesenian Jakarta, itu menjelaskan wayang memang kesenian asli Indonesia. Ada wayang kulit di Jawa Timur dan Jawa Tengah, Wayang Golek di Jawa Barat, dan beberapa kesenian wayang di Sumatera dan Kalimantan. Jadi wayang itu memang diajarkan dan ada pada bab pertama buku-buku sejarah film animasi yang diajarkan di seluruh kampus film dunia,
Bentuk wayang yang warna-warni dan bisa dilihat dari dua sisi menjadi sebuah desain animasi unik. Apalagi dalam setiap pementasan, kesenian khas Indonesia itu sudah mempertimbangkan tata letak lampu, iringan komposisi musik, dialog, bisa digerakkan mengikuti alur cerita, dan pementasannya bisa dinikmati dari dua sudut berbeda, depan dan belakang.

Sebab itu, menukil dari buku Karya John Halas hingga Walt Disney tentang pemahaman animasi, memang tak mengherankan jika wayang sebagai salah satu bagian sejarah perkembangan karya animasi. Saat manusia menafsir gerak kehidupan atau tentang hidup yang diindikasikan dengan gerak dan memiliki makna serta jiwa, itu sesuai pengertian anima dalam bahasa Yunani, dan animate dalam bahasa inggris, sebagai asal dari kata animasi.

Lalu bagaimana perkembangan film animasi di Indonesia? Gotot tersenyum, lalu berkata, animasi di Indonesia terus tumbuh seiring perkembangan teknologi. Dari segi pendidikan misalnya. Menurut dia, sekarang sudah ada ribuan sekolah membuka kelas multimedia dengan menyisipkan pelajaran membuat animasi.

Cuma masalahnya pada pengembangan teknologi. Para animator muda Indonesia sebenarnya secara teknik sudah mampu membuat karya kelas dunia. Hanya saja, ketika karya itu disodorkan ke rumah-rumah produksi asing, ditolak karena karya mereka digarap memakai program bajakan. Padahal bagi luar negeri, penggarapan karya menggunakan program komputer menjadi salah satu syarat membuat karya animasi.

Menurut dia, pemerintah kurang begitu memperhatikan dunia perfilman, khususnya animasi. Suatu ketika, kata dia, menteri komunikasi dan informatika pernah mendorong penggunaan program linux, yang bisa mudah dikembangkan oleh penggunanya. Masalahnya ketika Bill Gates, pemilik Microsoft, datang ke Indonesia. Rencana itu tidak terdengar lagi. Padahal harga Microsoft asli mahal. Itu memberatkan animator pemula, ujarnya.

Belum lagi masalah industri pertelevisian di tanah Air enggan membeli karya animator dalam negeri karena persoalan harga. Mereka lebih memilih film animasi asing dengan harga lebih murah, cukup Rp 5 juta per serial. Padahal untuk membuat film animasi lokal, harga yang disodorkan minimal Rp 6 juta per serial. Kalau pemerintah serius menggalakkan program cinta tanah air, mestinya pemerintah bisa membantu animator itu masuk ke industri pertelevisian tanah air.
Caranya terserah. Bisa membuat regulasi atau bentuk apapun, ujarnya. Terlebih, merujuk syarat yang ditetapkan asosiasi film animasi dunia, Indonesia baru bisa disebut negara produsen animasi jika tiga tahun berturut-turut televisi lokal sanggup menayangkan film animasi buatan lokal. Masalahnya, pemerintah mau nggak mendukung mereka berkarya di dalam negeri?
Share this article :